Penyiksaan Bocah di Sumbar Bukti Kejamnya Oknum Kepolisian
Baru-baru ini muncul kasus terkait penyiksaan bocah di Sumbar yang dilakukan oleh oknum polisi. KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) sendiri saat ini telah menyatakan bahwa polisi masih berkaitan erat dengan budaya kekerasan.
Hal tersebut terbukti dengan kasus seorang bocah 13 tahun bernama Afif Maulana ini. Di mana dirinya tewas setelah diduga mendapatkan penyiksaan dari anggota Sabhara Polda Sumatera Barat (Sumbar).
Fakta Penyiksaan Bocah di Sumbar
Berdasarkan dari pemantauan KontraS, sampai saat ini sudah ada 308 peristiwa kekerasan yang telah dilakukan oleh kepolisian. Terutama, pada masyarakat sipil sejak Januari sampai Juni 2024.
Kekerasan tersebut berupa tindakan penyiksaan bocah di Sumbar. Bahkan juga extrajudicial killing, serta kesewenang-wenangan lainnya dari aparat kepolisian.
1. Kekerasan Tidak Manusiawi
Muhammad Yahya Ihyatoza selaku Staf Divisi Hukum KontraS juga menjelaskan bahwa masih terlihat kultur kekerasan yang menjadi suatu penyakit kronik.
Bahkan, sangat kronis bagi kepolisian sehingga menyebabkan tingginya angka penyiksaan yang terjadi pada institusi kepolisian itu sendiri.
KontraS sangat menyayangkan apabila dugaan penyiksaan bocah di Sumbar tersebut benar terjadi. Apalagi karena tindakan polisi. Menurutnya kekerasan ini tidaklah manusiawi.
Apalagi seperti yang diketahui Polisi sendiri sebetulnya sudah memiliki aturan internal. Hal ini tentunya juga berkaitan dengan standar prinsip hak asasi manusia dalam pelaksanaan tugasnya.
2. Komitmen Jalankan HAM Sebatas Angan
Menurut Staf Divisi Hukum KontraS tersebut, polisi dan pemerintah sudah seharusnya memiliki komitmen yang jelas. Terutama, pada cita-cita yang bertujuan untuk bisa melaksanakan tugas kepolisian.
Dengan tujuan untuk bisa menunjukkan nilai hak asasi manusia (HAM) pada masyarakat. Namun, menurut KontraS hal tersebut sampai saat ini hanyalah sebatas angan saja tidak terlihat aksi nyatanya. Bahkan, hanya sebatas regulasi tanpa adanya pengimplementasian yang menyeluruh.
3. Perlu Evaluasi dan Pengawasan Ketat
Dalam hal tersebut, KontraS juga turut mendorong evaluasi terkait adanya penyiksaan bocah di Sumbar yang dilakukan oleh polisi pada masyarakat. Pertama, harus ada pengawasan yang ketat, baik itu dari lembaga eksternal atau internal.
Misalnya saja seperti Irwasum, Ombudsman, Propam, Kompolnas, dalam menjalankan seluruh tugas kepolisian. Apalagi seperti yang diketahui kepolisian sendiri saat ini memiliki kewenangan luas.
Sehingga peluang untuk kepolisian dalam penyalahgunaan kewenangan tersebut juga semakin besar. Oleh karena itu, perlu sekali adanya berbagai macam pengawasan yang sangat ketat. Terutama, terhadap kinerja dari pihak kepolisian itu sendiri dari pemerintah.
4. Kronologi Tewasnya AM
Dugaan penyiksaan bocah di Sumbar dilakukan oleh anggota Sabhara Polda Sumbar sampai menyebabkan anak tersebut meninggal dunia terjadi pada Minggu, 9 Juni 2024. Di mana saat itu lokasi kejadiannya di Jembatan Batang Kuranji, Kota Padang, Sumatera Barat.
KontraS berpendapat bahwa kronologi dari penyiksaan tersebut terjadi sejak pagi sekitar pukul 04.00 WIB. Korban AM saat itu bersama dengan temannya A sedang mengendarai motor dan melintasi jembatan Batang Kuranji.
Pada saat itu, keduanya turut dihampiri oleh polisi yang sedang berpatroli. Polisi sendiri saat itu telah menendang motor korban. Sehingga hal tersebut menyebabkan korban beserta temannya jatuh ke pinggir jalan.
Korban sendiri masih bisa berdiri sebelum akhirnya polisi mengelilinginya sambil memegang rotan. Kemudian, korban ditangkap oleh polisi dan tidak mengetahui keberadaannya sejak itu.
Sementara itu, setelah penyiksaan bocah di Sumbar ditemukan tewas mengapung di Sungai Batang Kuranji pada hari yang sama sekitar pukul 11.55 WIB. Di mana terdapat luka memar di punggung dan perut.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang sendiri mendapatkan keterangan dari tujuh korban dan melakukan investigasi, khususnya lima anak lainnya. Di mana tujuh korban lainnya yang ditangkap dan dianiaya polisi karena tuduhan telah terlibat tawuran.
Para korban juga telah mengalami penyiksaan berupa pukulan dengan disetrum, rotan, disundut rokok, bahkan sampai dipaksa melakukan ciuman sesama jenis. Tindakan tersebut tentunya dilakukan untuk memaksa para korban mengakui sebagai pelaku tawuran.
Keluarga korban sendiri telah melaporkan kejadian tersebut ke Polresta Padang pada 10 Juni. Di mana nomor laporan tersebut sah yaitu LP/B/409/VI/2024/SPKT/Polresta Padang/Polda Sumatera Barat.
5. Bantahan Pihak Kepolisian
Sementara itu, Irjen Suharyono selaku Kapolda Sumatera Barat (Sumbar) sendiri sebenarnya turut membantah. Hal ini berkaitan dengan adanya dugaan penyiksaan bocah di Sumbar.
Di mana hal tersebut telah dilakukan oleh anggota Sabhara terhadap AM. Bahkan, Irjen tersebut mengatakan dari keterangan saksi yang memboncengi, AM sendirilah diduga terjun ke sungai pada saat ada pengamanan aksi tawuran.
Di sisi lain, Kepala Polda Sumbar Inspektur tersebut juga telah berhasil mengungkapkan bahwa pihaknya akan mencari orang penyebar berita hoax tersebut. Bahkan, juga akan memeriksa orang yang memviralkan kasus AM di media sosial.
Alasannya, tentu karena narasi tersebut termasuk ke dalam bentuk tuduhan yang dapat berpotensi merusak citra institusi polisi. Pihaknya juga saat ini merasa menjadi korban pengadilan yang salah. Atau biasa disebut trial the press oleh pers terkait dengan berita viral penyiksaan bocah di Sumbar.